SJ Community mob-blog

Mahasiswa lulus langsung siap nikah ... SJCommunity 2006

More About Us …

Kami Jaswadi (Alfian), Berandal Tua (kaji), MASTER OF LOVE (mandra), ONTA ARAB (Faris REM), SI RAJA BESI (slamet).

Kami memiliki ide untuk mengenang cerita keseharian teman teman kami, yang pada akhirnya kami tuangkan dalam blog EDAN ini.

Our Philoshopy

Mahasiswa lulus langsung siap nikah ... SJCommunity 2006

Hand Out Jaswadi

PEMIKIRAN DAN GERAKAN POLITIK ISLAM
TAHUN 1945 - 1965




Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemikiran Politik di Indonesia






Oleh :
Kelompok 8

Moh. Syafi’i (CO3206025)
Muhajar (CO3206026)
Moch. Alfian (CO3206027)


Dosen Pembimbing
H. Sahid HM





FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN SIYASAH JINAYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2008
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Piagam Jakarta merupakan hasil karya panitia yang terdiri dari sembilan orang yang menandatanganinya pada tanggal 22 Juni 1945 mula-mula adalah nama yang di berikan pada Prambule Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana ia diterima bulat pada tanggal 11 dan 16 Juli 1945 oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapann Kemerdekaan Indonesia) yang waktu itu Ir. Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan.
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat islam di alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalangan organisasi dan partai-partai Islam dirasakan tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu adalah Masyumi. Masyumi yang berdiri pada 7-8 November 1945 merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam sebuah kongres di Yogyakarta. Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai Masyumi ialah Muhammadiyah dan NU.
Di era tahun 1950-an bisa disebut dekade demokrasi Parlementer, untuk di negara kita bia disebut sebagai angin sejuk bagi tumbuh suburnya partai politik. Di masa kepemimpinan Mohammad Natsir Partai Politik Islam semakin mendapat tempat di sistem pemerintahan dengan politiknya berupa perjuangan mosi yang integral dan dibuktikan Menteri Agama dipegang oleh KH. Wahid Hasyim.
Kemudian masa Demokrasi Terpimpin di bawah pimpinan Presiden Soekarno setelah tahun 1958-1959 merupakan masa di mana pemerintah sendiri dengan penuh semangat malakukan ideologinya. Konsepsi Soekarno dengan Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya Revolusi. Partai-partai yang bersedia mendukung sistem Demokrasi Terpimpin dibiarkan hidup bahkan diajak untuk masuk dalam kabinet. Masyumi yang sejak awal memberikan perlawanan politik secara gigih terhadap sistem baru itu hanya bisa bertahan selama satu setengah tahun setelah berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin.

2.Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan “Pemikiran dan Gerakan Politik Islam tahun 1945-1965” yang meliputi :
Piagam Jakarta
Masyumi
Islam dan Demokrasi Parlementer
Islam dan Demokrasi Terpimpin








































BAB II
ISI

“Pemikiran dan Gerakan Politik Islam tahun 1945-1965”
1.Piagam Jakarta
Lahirnya Piagam Jakarta dilatarbelakangi dengan dilaksanakannya persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Di dalam Naskah Undang-Undang Dasar 1945, jilid I yang disusun oleh Muhammad Yamin dicantumkan tiga pidato terpenting yang mewakili para nasionalis sekuler, yaitu pidato Soekarno pada tanggal 1 juni 1945, pidato Yamin sendiri pada 29 Mei 1945, dan pidato Supomo pada 31 Mei 1945. Sementara itu tidak ada satu pun pidato para anggota nasionalis Islami yang dimuat.
Setelah sidang pertama berakhir, 38 orang anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri dari atas sembilan orang yang dipilih yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasyim dan Mohammad Yamin. Setelah melalui pembicaraan yang serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil mencapai satu modus di antara para nasionalis Islami pada satu pihak dan para nasionalis sekuler pada lain pihak. Dalam pidatonya pada 10 juli dalam sidang paripurna Badan Penyelidik, Soekarno menekankan betapa beratnya tugas panitia kecil sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat antara dua kelompok anggota yaitu antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan kebangsaan.
Setelah rancangan pembukaan UUD 1945 dibacakan, kemudian ditandatangani oleh sembilan orang anggota pada 22 juni 1945 di Jakarta, maka terkenal dengan Piagam Jakarta, Preambule Piagam Jakarta awalnya merupakan nama yang diberikan pada Preambule UUD 1945, tetapi kemudian dijelaskan oleh Soekarno sebagai Ketua Panitia Sembilan memberi keterangan pada sidang pleno, bahwa preambule itu telah dicapai dengan susah payah dan merupakan kompromi antara golongan nasionalis dan golongan Islam.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu akibat bom atom yang yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki. Setelah mendengar berita tersebut Indonesia Memproklamasikan Kemerdekaannya yang ditanda tangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian secara mendadak PPKI menerima perubahan teks Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar, Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan yang kemudian dikanal luas sebagai UUD 1945. Perubahannya antara lain :
1.Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”
2.Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat : “Berdasarkan Kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk –pemeluknya “diubah menjadi “berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
3.Pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “beragama Islam” dicoret.
4.Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara Berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Setelah perubahan diatas menjadi ketetapan maka muncullah reaksi dari tokoh-tokoh agama yang menganggap dapat menimbulkan perpecahan seperti Ki Bagus Hadikusuma, A. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan.
Tanpa bantuan dan pengorbanan Islam, Pancasila tidak akan ada di Indonesia. Umat Islam telah memberikan hadiah dan pengorbanan terbesar bagi kemerdekaan Republik Indonesia dan hidupnya Pancasila, itulah yang dikatakan oleh Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Perwiranegara. Apa yang dikatakan oleh Menteri Alamsyah tersebut dalam artian sebenarnya bahwa jasa dan pengorbanan umat Islam besar sekali, baik dalam memperjuangkan, maupun dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Jasa para Nasionalis Islam antara lain nampak dalam kenyataan, bahwa mereka (H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Kahar Muzzakir) telah turut aktif ambil bagian bersama lima orang nasionalis lainnya merumuskan formula resmi pertama Pancasila dalam bentuk Piagam Jakarta yang kemudian setelah mengalami perubahan tanggal 18 Agustus 1945 menjadi Pembukaan UUD 1945. 1
Setelah PPKI bubar maka dibentuklah KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dalam sidangnya 25, 26 dan 27 November 1945 yang mencanangkan Menteri Agama di pegang oleh H.M. Rasjidi yang menggantikan H. Alamsyah Ratu Perwiranegara dengan harapan dapat merealisasikan “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu dalam artian Mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.

2.Masyumi
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalangan organisasi dan partai-partai Islam dirasakan tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu ialah Masyumi yang berdiri pada 7-8 November 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam sebuah kongres bertempat di gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Adapun nama Masyumi dipakai semata-mata karena hasil musyawarah tersebut.
Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai baru ini ialah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia), tapi kali ini mengkhususkan perjuangan di bidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam lokal maupun nasional mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya partai politik umat Islam di Indonesia. Masyumi kemudian tampil sebagai pembela demokrasi yang tangguh dalam negara Republik Indonesia.
Pengurus Masyumi periode awal terdiri dari Majelis Syura yang diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Pengurus Besar (Badan Eksekutif) yang diketuai oleh Soekiman Wirjosendjojo, Mohammad Natsir sendiri pada periode awal itu merupakan anggota Pengurus Besar. Partai baru ini dalam tempo singkat telah muncul sebagai partai yang sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia. Kekuatan partai ini terletak pada partai yang mendukung Masyumi yaitu Muhammadiyah dan NU yang mempunyai massa yang sangat besar bila dibandingkan dengan organisasi Islam lain, bila salah satu diantara pendukung besar ini mengundurkan diri maka Masyumi akan kehilangan keseimbangannya dan hal inilah yang terjadi pada awal 1950-an.
Masyumi telah merumuskan tujuan jangka panjang yang hendak diraihnya dalam perjuangan politik. Masyumi melalui cara-cara dan saluran aluran demokratis ingin menciptakan Indonesia yang bercorak Islam, tapi dengan memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya masing-masing.
Selama empat tahun lebih, Masyumi bersama golongan lain memusatkan perhatian pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang masih dirongrong keinginan Belanda untuk meneruskan penjajahan kembali. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan baru berakhir pada Desember 1949, setelah perjanjian KMB (Konfrensi Meja Bundar) ditanda tangani oleh Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda di Den Haag. Komitmen umat Islam di bawah pimpinan Masyumi kepada perjuangan mempertahankan kemerdekaan total.
Masyumi dalam periode yang sangat kritis itu tetap mempertahankan kemurnian cita-cita kemerdekaan, dibuktikan oleh sikap penolakannya terhadap perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang dinilai menodai perjuangan bangsa. Dr. Soekiman Wirjosendjojo memeberikan fakta tentang betapa setianya Masyumi kepada Republik yang baru berusia sangat muda, yang dinilai telah dilemahkan oleh politik golongan kiri (PKI, Partai Sosialis, Pesindo dan Partai Buruh) dalam mengahdapi Belanda. Perjanjian Linggarjati (1946) dan Renville (1974) adalah karya golongan kiri. Pada waktu itu, antara PKI dan Partai Sosialis di bawah pimpinan Syahrir masih berada dalam satu wadah kebijakan politik, sementara Masyumi dan PNI berada dalam perahu yang lain, khususnya dalam menghadapi perjanjian-perjanjian yang dipandang merugikan pihak Indonesia. Kesamaan pendirian Masyumi dan PNI menghadapi manuver politik gabungan sosialis pada waktu itu, merupakan pilar sejarah penting bagi republik yang baru lahir itu.2
Menghadapi pemberontakan PKI, lagi-lagi Masyumi dan PNI menyatukan kekuatan untuk menentangnya. Kerjasama Masyumi-PNI ini bila dihubungkan dengan teori Herbert Feith, adalah terutama karena Masyumi pada periode itu dipimpin oleh kelompok Soekiman, yang sedikit berbeda dalam kebijaksanaan politiknya dengan kelompok Natsir. Ketimbang kelompok Natsir, anggota-anggota kelompok Soekiman, mempunyai hubungan politik yang baik dengan pemimpin-pemimpin PNI dan Soekarno. Karier politik Masyumi semakin cemerlang ketika Perjanjian Roem Royen pada 7 Mei 1949 sebagai langkah pelicin bagi KMB yang membawa pengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda. Mohammad Roem (1908-1983) adalah salah seorang tokoh Masyumi berhaluan moderat, tapi sangat dihormati kawan dan lawan. 3
Goncangan besar dalam tubuh Masyumi terjadi pada Mei 1952, NU meninggalkan Masyumi dan menyatakan diri sebagai sebuah partai politik dan meninggalkan watak jami’ahnya. Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam Indonesia terpecah dalam empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU dan Perti yang telah menjadi partai politik sejak Desember 1945.

3.Islam dan Demokrasi Parlementer
Lewat mosi integral Mohammad Natsir dan kawan-kawan dalam parlemen, pada tahun 1950 dibentuk negara kesatuan Republik Indonesia di bawah payung UUDS 1950. Menurut UUDS, hidup mati suatu kabinet sepenuhnya ditentukan oleh besar kecilnya dukungan yang diperoleh dalam parlemen. Kedudukan presiden menurut UUDS adalah sebagai simbol Kepala Negara yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung. Untuk negara kesatuan RI, sebagai Perdana Menteri dipilih Mohammad Natsir, berdasarkan prestasi politiknya berupa pengajuan mosi integral yang terkenal itu.
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memainkan kartu politik yang menentukan. Setelah Kabinet Natsir jatuh pada April 1951, Soekiman Wirjosendjojo diangkat menjadi Perdana Menteri kedua dalam negara kesatuan. Baik dalam kabinet Natsir, maupun dalam kabinet Soekiman, posisi Menteri Agama tetap berada di tangan KH. Wahid Hasyim (unsur NU dalam Masyumi). Tapi dalam kabinet Wilopo-Prawoto-pengganti Kabinet Soekiman mulai April 1952 posisi Menteri Agama diserahkan kapada KH. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Bila dihubungkan dengan keputusan kongres NU di Palembang untuk berpisah dengan Masyumi, memang tampak ada kaitannya dengan terlepasnya posisi Menteri Agama dari NU, sekalipun sebab utamanya jauh lebih komleks. Dalam Kabinet Wilopo, unsur NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi mendapat empat kursi dan PSII satu.
Pada pertengahan 1953, Kabinet Wilopo jatuh, dan digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini, NU (setelah jadi partai) mendapat tiga kursi. Setelah terjadi perubahan kabinet, kursi NU menjadi empat, meliputi kursi Wakil Perdana I, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Agraria.4 Kenyataan ini menunjukan bahwa NU mendapat pengalaman politik yang sangat berharga, suatu pengalaman luar biasa yang tidak dirasakannya selama masih menjadi anggota istimewa Masyumi menjadi partai oposisi terhadap Kabinet Ali ini. Pada saat itu, NU dan Masyumi sudah mulai saling berhadapan.
Akibat perselisihan dengan Angkatan Darat, Kabinet Ali I jatuh pada Juli 1955 dan digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi). Kabinet ini adalah kabinet Masyumi terakhir sampai partai itu bubar pada tahun 1960. Prestasi kabinet ini terutama terletak pada keberhasilannya menyelenggarakan Pemilihan umum pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Prestasi kedua ialah dibubarkannya Uni Indonesia-Belanda secara unilateral, suatu keberanian politik yang patut dicatat. Prestasi lainnya ialah mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan Darat yang pada masa kabinet Ali I, telah sangat merosot. Bahkan jatuhnya Kabinet Ali justru karena oposisi Angkatan Darat, sekalipun kabinet ini berhasil menciptakan prestasi internasional sebelumnya, yaitu diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika (April 1955) yang melahirkan Dasasila Bandung yang terkenal. Rupanya, prestasi luar negeri yang gemilang ini tidak mampu mengimbangi kegagalan kabinet dalam melaksanakan kebijaksanaan dalam negeri.
Kabinet Ali-Roem-Idham dilantik pada 24 Maret 1956, menggantikan Kabinet Burhanuddin Harahap. Sayang kabinet ini tidak berusia lama, tantangan yang dihadapinya datang bertubi-tubi, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan antara PNI dan Masyumi , sebagai pendukung Kabinet dan perpecahan di tubuh Angkatan Darat yang menghadapkan kabinet kepada pilihan-pilihan yang pelik. Keadaan semakin parah setelah Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil Presiden pada akhir 1956. Akhirnya kabinet ini menyerahkan mandatnya kepada Presiden pada 14 Maret 1957. Kabinet ini merupakan kabinet yang terakhir dalam sejarah kontemporer Indonesia.


4.Islam dan Demokrasi Terpimpin
Proses Kristalisasi ( Juli 1959 – Desember 1960 )
Setelah Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Majelis Konstituante dan berlakunya kambali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1945, Soekarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Djuanda pada 6 Juli. Kainet Djuanda merupakan kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlmenter ke Demokrasi Terpimpin. Kabinet baru di bawah payung UUD 1945 ini diberi nama Kabinet Kerja yang bertugas malaksanakan gagasan Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin dan dengan Demokrasi Terpimpin inilah yang melambungkan Soekarno di kancah poltik dengan tidak menjadi suatu simbol Negara lagi. Di saat itupulah umat Islam berbeda pandangan dan berbecah-belah menghadapi sistem yang diciptakan Soekarno.
Sikap Masyumi yang menentang Demokrasi Terpimpin, sementara NU, PSII dan Perti bergabung di dalamnya semakin terbatasnya ruang gerak untuk partai kaum modernis ini, apalagi budaya politik yang dikembangkan di Indonesia pada waktu itu adalah budaya politik Otoriter dengan Soekarno, PKI dan pemimpin tertinggi Angkatan Darat sebagai pemain utamanya.
Pada 11 Juli 1957 Soekarno membentuk Dewan Nasional yang menganggap DPR semakin melemah yang kemudian terbentuknya Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 22 Juli 1959 di bawah UUD 1945 yang juga deketuai Soekarno, berakhirlah tugas Dewan Nasional. Sebagai ganti DPR pilihan rakyat yang dibubarkan, pada Maret 1960 Soekarno membentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang merupakan mekanisme pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Anggota-anggota yang duduk dalam dewan tersebut adalah mereka yang disukai Soekarno dan bertugas menjalankan politiknya. Karena itu, orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir sebab mereka dinilai sebagai manusia antirevolusi.
Pada bulan-bulan pertama pelaksanaan Demokrasi Terpimpin terlihat proses kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang terhadap demokrasi gaya baru ini. Siapa yang mendukung dibiarkan hidup, sedangkan yang menentang harus disingkirkan. Ini secara makro. Secara mikro, di kalangan umat Islam, proses kristalisasi juga menjadi kenyataan. Pihak yang ikut dalam sistem ciptaan Soekarno dapat turut serta dalam jaringan kekuasaan atau sebagai peserta pinggiran. Sedangkan pihak yang melawan, bukan saja disingkirkan dari lembaga-lembaga politik formal, tapi juga partai mereka dibubarkan seperti Masyumi dan PSI dan tokoh-tokoh mereka dipenjarakan bertahun-tahun tanpa alasan yang jelas.
Periode Kolaborasi ( April 1960 – Desember 1965 )
Dengan terbentuknya DPRGR pada April 1960, proses kristalisasi politik di kalangan umat mendapatkan momentum yang kritis dan menentukan, dan proses itu mencapai titik puncak pada akhir 1960 sewaktu Masyumi bubar. Kolaborasi antara Soekarno dan partai-partai Islam, yang berlangsung terus sampai jatuhnya rezim Demokrasi Terpimpin. pada periode sulit ini partai-partai Islam dapat dikatakan sedang berada di bawah pengaruh kuat NU. Strategi politik NU yang menggunakan Doktrin Pesantren dan Implementasinya dalam Politik Praktis pada periode Demokrasi Terpimpin. KH. Abdulwahab Chasbullah sebagai tokoh yang berperan dominan dalam perjuangan NU pada waktu diadakannya musyawarah wilayah tentang masuk tidaknya NU ke dalam DPRGR, strateginyalah yang mendapat dukungan besar. Dalam buku Anggaran Dasar NU dikatakan bahwa memuliakan yang tinggi dan mengasihi yang rendah yang merupakan bagian dari tugas syuri’ah dalam rangka menguatkan tali persaudaraan di kalangan para Ulama NU. Doktrin ini dengan sendirinya telah memperkuat posisi para sesepuh ulama ( Kia wahab dan Kia Idham ) yang loyal kepada Presiden Soekarno.5 Kiai Idham Chalid berpandangan bahwa dalam menghadapi Demokrasi terpimpin, Umat Islam dihadapkan pada dua macam ijtihad politik yang berbeda. Ijtihad pertama berkesimpulan bahwa umat Islam lebih baik masuk ke dalam sistem demi kepentingan Islam, sedangkan Ijtihad kedua berpendapat bahwa demi kepentingan Islam maka umat Islam harus melawan sistem. Ijtihad pertama berasal dari pemikiran pihak pesantren dan ijtihad kedua pemikran dari pihak modernis. Keduanya sama-sama berdasarkan keyakinan agama.
Kiai Idham juga menekankan bahwa bagi NU dalam melaksanakan Demokrasi Terpimpin, demokrasinya harus mendapatkan penekanan, karena menurut kepercayaan Islam Demokrasi tanpa pimpinan akan menjurus kepada anarchi dan kepemimpinan tanpa demokrasi akan menjurus pada diktator. Dalam pandangan Kiai Idham pemerinthan Bung Karno yang sentralistik dan tidak memberi peluang adanya perbedaan pendapat masih dalam kategori Demokrasi. Itulah sebabnya NU di bawah kepemimpinannya tetap berada dalam Demokrasi Terpimpin sampai sistem ini berakhir.
Kedudukan sebagai menteri agama memang telah menjadi incaran NU. Pada Departemen inilah orang-orang NU seperti di rumah sendiri. Departemen Agama dipandang sebagai jalur politik NU yang efektif, lewat jalur ini NU bisa berkomunikasi dengan massa besarnya sekaligus meluaskan pengaruh ke seluruh Indonesia dan Kiai Idham Chalid sebagai wakil ketua MPRS kemudian hampir semua lembaga pemerintahan orang-orang NU. Dan ketika masalah ekonomi pada periode Demokrasi Terpimpin hampir-hampir tidak pernah dipikirkan secara serius oleh pemerintah sehingga inflasi pada tahun 1965 mencapai 650% karena sibuk mengurus revolusi, konfrontasi dengan Malaysia dan usaha pengembalian Irian Barat, sistem Demokrasi Terpimpin mungkin masih bisa bertahan beberapa waktu lagi jika peristiwa Gerakan 30 September 1965 / G 30 S/PKI tidak meledak. Kegagalan gerakan ini membawa Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya beserta PKI kepada kehancuran politik secara total.

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demokrasi dengan segala kelambanan dan kelemahannya sejauh ini masih dipandang sebagai sistem terbaik yang pernah dikenal manusia. Indonesia pascaproklamasi telah mencoba berbagai model demokrasi agar lebih sesuai dengan kepribadian bangsa yang senantiasa menuntut perumusan baru dan segar. Sesudah bebas dari penjajahan politik, nasioanalisme Indonesia perlu diorientasikan untuk membebaskan mayoritas rakyat dari kondisi ketertindasan dan ketidakberdayaan ekonomi. Political will pemerintah sangat dinantikan untuk tujuan srategis ini. Praktik korupsi dan kolusi harus dinyatakan sebagai lawan nasionalisme dengan orientasi baru ini.



















DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung : Pustaka, 1981.
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Politik Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Karim, M. Rusli, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia, Jakarta : Citra Niaga Rajawali Pers, 1993.
Ma’arif, A. Syafi’i, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Bandung : Pustaka, 1985.
Feith, Herbert, “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca : Cornell University Press, 1968.


 
Blog Directory Blog Directory Total Blog Directory Personal Blog Directory Dmegs Directory blogarama.com Blog Directory