SJ Community mob-blog

Mahasiswa lulus langsung siap nikah ... SJCommunity 2006

More About Us …

Kami Jaswadi (Alfian), Berandal Tua (kaji), MASTER OF LOVE (mandra), ONTA ARAB (Faris REM), SI RAJA BESI (slamet).

Kami memiliki ide untuk mengenang cerita keseharian teman teman kami, yang pada akhirnya kami tuangkan dalam blog EDAN ini.

Our Philoshopy

Mahasiswa lulus langsung siap nikah ... SJCommunity 2006

Jaswadi Long much

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kajian dan penelitian mengenai Hukum, Politik dan Kekuasaan sangatlah penting, terutama tentang tolak tarik antara Hukum dengan Politik, Politik dengan Kekuasaan maupun Kekuasaan dengan hukum yang sering kali membuat suatu permasalahan menjadi semakin rumit.
Pada dasarnya hukum itu merupakan produk politik, hukum merupakan bentuk kristalisasi normatif dan implementasi dari kehendak politik yang saling bersaing, sehingga setiap produk hukum akan memiliki karakter sesuai dengan konfigurasi politik yang membuatnya. Hal ini tidaklah berlebihan jika kemudian di dalam implementasi dan penegakan pun sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu, sehingga muncul fenomena bahwa fungsi hukum lebih banyak dipakai sebagai sarana kekuasaan politik dibandingkan dengan fungsi-fungsinya yang lain.
Namun demikian, hukum yang terbentuk sebagai produk politik itu dapat menjadi baik dan bersifat membangun serta berpihak kepada rakyat, jika konfigurasi politik yang melahirkan produk hukum itu merupakan konfigurasi demokratis, maka produk hukumnya pun diharapkan berkarakter responsif dan otonom. Sebuah hukum yang baik akan mendasarkan dirinya pada nurani dan kesusilaan yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mengawal dan mendorong adanya ketertiban sosial masyarakat itu sendiri.
Berlakunya Hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut yang sangat signifikan, dimulai Belanda masuk ke Indonesia dengan membawa hukum yang dianutnya kemudian dilanjutkan Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Belanda sampai akhirnya Indonesia Merdeka pada tahun 1945.
Masa pemerintahan di Indonesia dalam wacana Orde Lama dimana masih mementingkan percaturan politik yang berdampak pada carut marut stabilitas sosial ekonomi dalam negeri yang merupakan dampak dari sistem pemerintahan Otoriter yang di bangun oleh Soekarno. Dan puncaknya ketika Soekarno menyerahkan Supersemar kepada Soeharto yang menandai peralihan dari Orde lama kepada Orde Baru yang diusung oleh Soeharto.
BAB II
ISI

1.Sumbangan Hukum Islam dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Daru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, ekonomi, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Di masa pemerintahan Orde Baru keyakinan umat Islam untuk membentuk pemerintahan yang mengarah pada Syari’at Islam tidak dapat terlaksana dengan baik karena Soeharto lebih mengarahkan pemerintahan yang berpijak pada “Piagam Jakarta”. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Soekarno dengan otoriternya karena pada masa Orde Baru mengusung pada ketertiban dan stabilitas ekonomi Negara yang merupakan hanya sebagai bingkai saja.
Dalam beberapa periode akhirnya keluarlah kompilasi hukum Islam dengan Inpres No. 1 Tahun 1991, sebagai hasil ijtihad bersama mengandung beberapa hikmah antara lain memositifkan hukum Islam khususnya di bidang Peradilan Agama, kompilasi hukum Islam menjamin tercapainya kepastian hukum, dan kompilasi hukum Islam mempertegas untuk sosiologis (satu dalam keseragaman) dari hukum Islam.1

Terbentuknya Hukum Positif Islam di Bidang Perwaqafan Tanah
Di saat-saat pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan luas dari masyarakat muslim, telah dikeluarkan hukum positif (Islam) melalui Peraturan Pemeritahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwaqakafan Tanah Milik. Indonesia sebgai Negara yang berdasarkan Pancasila (bukan Negara Islam), yang rakyatnya terdiri atas pemeluk berbagai agama maka waqaf hanya dikenal di lingkungan rakyat yang beargama Islam. Sebagian besar objeknya berupa tanah yang termasuk barang tidak bergerak, maka dalam ruang lingkup pengaturannya termasuk dalam hukum agraria yang berpokok pangkal kepada Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 (L.N. Tahun 1960 Nomor 104) tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria, khususnya Pasal 49 Ayat (3) yang berbunyi “Perwaqafan Tanah Milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.”
Meskipun telah ada peraturan tentang perwaqafan baik produk kolonial maupun produk Pemerintahan Republik Indonesia, namun belum sepenuhnya menjamin penyelenggaraan perwaqafan secara tertib dan teratur serta belum menjamin adanya kepastian hukumnya. Hal itu disebabkan oleh banyaknya peraturan yang isinya berbeda dan bertentangan satu dengan yang lain. Selain itu belum jelas lembaga atau instansi mana yang berwenang mengawasi dan mengurus perwakafan tersebut, untuk itulah dikeluarkanlah peraturan pemerintah No. 7 tahun 1977 ini.

Terbentuknya Bank Mu’amlat Indonesia (BMI)
Berdirinya Bank Mu’amlat Indonesia dilatarbelakangi dengan diproklamasikan lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Tahun 1990 di Kampus Universitas Brawijaya Malang yang dihadiri oleh Presiden Soeharto. Kelahiran ICMI merupakan tonggak sejarah yang paling monumental dalam konteks hubungan Islam dan Kenegaraan.berkumpulnya para cendekiawan ini tentu mempunyai harapan yang besar untuk melahirkan karya-karya bagi sumbangsih umat Islam terhadap pembangunan bangsa dan Negara.
Harapan tersebut tercermin dalam beberapa pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Amin Rais mengatakan bahwa keberadaan ICMI merupakan suatu prestasi yang penting bagi umat Islam di Indonesia.2 Dengan berdirinya BMI yang resmi berdiri pada tanggal 1 November 1991 yang disahkan oleh Menteri Keuangan R.I. ini yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di sektor agama akan meningkatkan kesadaran umat Islam untuk melaksanakan nilai-nilai dan ajaran agamanya. Kemudian harapan pemerintah yaitu sikap mendua umat Islam dalam hubungan dengan perbankan selama ini diharapkan berakhir.

Lahirnya UU NO. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Setelah berkuasa selama 32 tahun akhirnya Rezim Orde Baru runtuh dengan ditandai mundurnya Soeharto dari kursi Kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Runtuhnya Orde Baru disusul dengan lahirnya Era Reformasi ditandai dengan beberapa tuntutan sekaligus harapan terbentuknya hukum nasional dengan mengakomodasi hukum Islam. Kemudian lahirlah UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang dalam hukum positif merupakan langkah bagi peluang berlakunya Hukum Islam di Indonesia, karena zakat sebagai instrument keagamaan yang berdimensi vertical dan horizontal akan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan ditetapkannya syariat zakat.
Di dalam hukum Islam, zakat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakn (wajib’ain) bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat. Pentingnya kewajiban zakat ini sederajat dengan pentingnya kewajiban sholat dan memiliki kaitan yang erat di antara keduanya. Sholat membentuk jiwa bersih, sedangkan zakat merupakan amalan yang berdimensi sosial kemasyarakatan yang didasari oleh jiwa yang bersih yang sesuai dengan perintah Allah (Al-Qur’an An-Nisa’ 77).
Pasal 2 UU No. 38 Tahun 1999 menegaskan bahwa zakat sebagai kewaiban agama warga Negara yang beragama Islam. Karena sifatnya yang “diyani”, maka pemerintah tidak mewajibkan zakat kepada setiap muslim yang memenuhi syarat, tetapi mendasarkan kepada kesadaran masyarakat muslim sendiri sehingga orang-orang Islam wajib zakat yang tidak melaporkan zakatnya kepada badan amil zakat tidak terjangkau oleh UU ini. Sungguhpun demikian, UU pengelolaan zakat tetap memiliki sifat mengikat, sebagaimana terdapat dalam pasal 21 bahwa sanksi terhadap kelalaian pengelolaan zakat selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebesar-besarnya tiga puluh juta rupiah.

Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 Yang Membuka Peluang Beroperasinya Perbankan Syariat.
Ketika Undang-undang No. 7 tahun 1992 belum dilakukan perubahan, peluang beroperasinya bank berdasarkan prinsip syariat di Indonesia belum mendapatlkan kejelasan. Hanya tercantum dalam pasal 1 ayat (2) bahwa penyediaan uang dan tagihan, atau yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tetentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Ketentuan yang belum jelas tentang keberadaan bank syariat tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Peluang beroperasinya perbankan berdasarkan prinsip syariat (hukum Islam) semakin jelas dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992.3 Kejelasan peluang tersebut dapat dilihat pada pasal 1 ayat (12), pasal 6 huruf (u), pasal 7 huruf (c), dan pasal 13 ayat (1) huruf (c).
Ketentuan pasal-pasal tersebut menyatakan secara eksplisit memberi peluang beroperasinya bank Islam di Indonesia. Peluang tersebut secara lebih rinci dijabarkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir. Tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Syariat dan No. 32/36/Kep/Dir. Tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Bedasarkan Prinsip Syariat. Peluang secara yuridis tersebut semakin terbuka luas dngan dibukanya kesempatan bagi bank konvensional khususnya Bank Umum untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariat, asalkan membuka cabang khusus untuk melakukan kegiatan tersebut.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam wacana di atas kami dapat menarik suatu telaah yang mungkin sampai sekarang ini masih bergejolak di dunia perbankan yaitu bahwa setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.
UU No.10 tahun 1998 di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia, efek dari hal tersebut adalah perbankan syariah tidak berdiri sendiri (mandiri), sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah. 4





DAFTAR PUSTAKA

Sumitro, Wakum. 2005. Perkembangan Hukum Islam. Malang: Anggota IKAPI Jatim.
Ramulyo, M. Idris. 1995. Azas-azas Hukum Islami. Jakarta: Sinar Grafika.
Ali, M. Daud. 1993.Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Yustiady, Duddy. 1991. Penjelasan Perbankan Syariah Secara Umum. Makalah FISIP UI Depok.
Sirajuddin. 2008. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.


 
Blog Directory Blog Directory Total Blog Directory Personal Blog Directory Dmegs Directory blogarama.com Blog Directory